1. Teori-teori Emile Durkheim
a)
Teori Solidaritas (The
Division of Labour in Society)
Dalam
buku ini menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara
orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah
yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain.
solidaritas menunjuk pada suatu keadaan
hubungan antara individu dan / atau kelompok yang didasarkan pada perasaan
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman
emosional bersama.
1) Solidaritas Mekanis
Solidaritas mekanis
dibentuk oleh hokum represif karena anggota masyarakat jenis ini memiliki
kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya pada
moralitas bersama, apapun pelanggaran terhadap system nilai bersama tidak akan
dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas
pelanggaranya terhadap system moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap
system moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan
hukuman yang berat.
2)
Solidaritas
Organic
Masyarakat
solidaritas organic dibentuk oleh hukum restitutif. Dimana seseorang yang
melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat
sebagai serangan terhadap individu tertentu atau sekmen tertentu dari
masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya
moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi xecara emosional terhadap
pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat
masyarakat modern bentuk solidaritas moralnya mengalami perubahan bukannya
hilang.
Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang
diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran
individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung
satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja
dari suatu pembagian pekerjaan sosial.
b)
Fakta
Sosial (The Rule Of Sociological Method)
Menurut Durkeim fakta
sosial/gejala sosial adalah benda artinya gejala sosial adalah riil secara
obyektif, dengan satu eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau psikologis
individu.
1)
Fakta
Sosial
Asumsi
yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim terhadap sosiologi
adalah bahwa gejala social itu real dan mempengaruhi
kesadaran individu serta perilakunya
yang berbeda dari karakteristik psikologis, biologis atau karakteristik
individu lainnya. Banyak yang tertarik dalam mengembangkan suatu penjelasan
naturalistic atau ilmiah tentang perilaku manusia dan juga mengenai institsi
social, mendasarkan analisanya pada karakteristik individu.
2)
Fakta
Sosial Lawan Fakta Individu
Menurut
Durkheim fakta social itu tidak dapat direduksikan ke fakta individu melainkan
memiliki eksistensi yang independen pada tingkat social. Durkheim hidup di
bawah pengaruh positivisme, ilmu dilihat sebagai suatu yang berhubungan dengan
gejala yang riil (factual). Tanpa obyek riil sebagai pokok permasalahannya,
suatu ilmu tentang masyarakat tidaklah mungkin ada. Dalam karir awal Durkheim (
The Rules of Sociological Method) dijelaskan
bahwa gejala social itu adalah benda. Artinya, gejala social adalah riil secara
obyektif dengan satu eksistensi yang terlepas dari gejala biologis atau
psikologis individu.
3)
Karakteristik
Fakta Sosial
Ø Bersifat eksternal terhadap individu
Meskipun banyak dari fakta sosial ini akhirnya
diendapkan oleh individu melalui proses sosialisasi, individu itu sejak awalnya
mengkonfrontasikan fakta sosial itu sebagai satu kenyataan eksternal,
Ø Memaksa individu
individu
memang dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu
dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Namun,
bukan berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan
cara yang negatife atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku
yang bertentangan dengan kemauannya. Kalau proses sosialisasi itu berhasil,
individu sudah mengendapkan fakta sosial yang cocok sedemikian menyeluruhnya
sehingga perintah-perintahnya akan kelihatan sebagai hal yang biasa, sama
sekali tidak bertentangan dengan kemauan individu.
Ø Bersifat umum atau menyebar luas dalam suatu masyarakat.
fakta
social ini merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan.
c) Teori Bunuh Diri (Suicide)
Durkheim
memilih studi bunuh diri karena persoalan ini relative merupakan fenomena
konkrit dan spesifik, di mana tersedia
data yang bagus cara komparatif. Akan tetapi, alasan utama Durkheim untuk
melakukan studi bunuh diri ini adalah untuk menunjukkan kekuatan disiplin
Sosiologi. Dia
melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa.
Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan
kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa
bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang
karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap
sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat.
Durkheim
memusatkan perhatiannya pada 3 macam kesatuan sosial yang pokok dalam
masyarakat:
Ø Bunuh Diri dalam Kesatuan Agama
Dari data yang dikumpulan Durkheim
menunjukkan bahwa angka bunuh diri lebih besar di negara-negara protestan
dibandingkan dengan penganut agama Katolik dan lainnya. Penyebabnya terletak di
dalam perbedaan kebebasan yang diberikan oleh masing-masing agama tersebut
kepada para penganutnya.
Ø Bunuh Diri dalam Kesatuan Keluarga
Dari penelitian Durkheim disimpulkan
bahwa semakin kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil
pula keinginan untuk hidup. Kesatuan sosial yang semakin besar, mengikat orang
pada kegiatan-kegiatan sosial di antara anggota-anggota kesatuan tersebut.
Ø Bunuh Diri dalam Kesatuan Politik
Dari data yang dikumpulkan, Durkheim
menyimpulkan bahwa di dalam situasi perang, golongan militer lebih terintegrasi
dengan baik, dibandingkan dalam keadaan damai. Sebaliknya dengan masyarakat
sipil.
Kemudian data tahun 1829-1848 disimpulkan
bahwa angka bunuh diri ternyata lebih kecil pada masa revolusi atau pergolakan
politik, dibandingkan dengan dalam masa tidak terjadi pergolakan politik.
Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 4 macam:
1) Bunuh Diri Egoistis
Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat
ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi
dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan
bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu.
Lemahnya integrasi sosial melahirkan arus sosial yang khas, dan arus tersebut
melahirkan perbedaan angka bunuh diri. Misalnya pada masyarakat yang
disintegrasi akan melahirkan arus depresi dan kekecewaan. Kekecewaan yang
melahirkan situasi politik didominasi oleh perasaan kesia-siaan, moralitas
dilihat sebagai pilihan individu, dan pandangan hidup masyarakat luas menekan
ketidakbermaknaan hidup, begitu sebaliknya.
Durkheim menyatakan bahwa ada faktor
paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu
menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial.
2) Bunuh Diri Altruistis
Terjadi ketika integrasi sosial yang
sangat kuat, secara harfiah dapat dikatakan individu terpaksa melakukan bunuh
diri. Salah satu contohnya adalah bunuh diri massal dari pengikut pendeta Jim
Jones di Jonestown, Guyana pada tahun 1978. contoh lain bunuh diri di Jepang
(Harakiri).
Bunuh diri ini makin banyak terjadi jika
makin banyak harapan yang tersedia, karena dia bergantung pada keyakinan akan
adanya sesuatu yang indah setelah hidup di dunia. Ketika integrasi mengendur
seorang akan melakukan bunuh diri karena tidak ada lagi kebaikan yang dapat
dipakai untuk meneruskan kehidupannya, begitu sebaliknya.
3) Bunuh Diri Anomic
Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan
regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu
merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan
bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan.
Bunuh diri ini terjadi ketika menempatkan
orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum
dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Contoh: bunuh diri dalam situasi
depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya
kehilangan pekerjangan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama
ini mereka rasakan.
Contoh lainnya seperti booming ekonomi
yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur
tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri.
4) Bunuh Diri Fatalistis
Bunuh diri ini terjadi ketika regulasi
meningkat. Durkheim menggambarkan seseorang yang mau melakukan bunuh diri ini
seperti seseorang yang masa depannya telah tertutup dan nafsu yang tertahan oleh
disiplin yang menindas. Contoh: perbudakan.
Hubungan Empat Jenis Bunuh Diri menurut Durkheim
Integrasi
|
Rendah
|
Bunuh diri egoistis
|
Tinggi
|
Bunuh diri
altruistis
|
|
Regulasi
|
Rendah
|
Bunuh diri anomic
|
Tinggi
|
Bunuh diri
fatalistis
|
d)
Teori
tentang Agama (The Elemtary Forms of Religious Life)
Dalam teori ini Durkheim
mengulas sifat-sifat, sumber bentuk-bentuk, akibat, dan variasi agama dari
sudut pandang sosiologistis. Agama menurut Durkheim merupakan ”a unified system
of belief and practices relative to sacret things”, dan selanjutnya “ that is
to say, things set apart and forbidden – belief and practices which unite into
one single moral community called church
all those who adhere to them.” Agama menurut Durkheim berasal dari
masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang
dianggap sakral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi.
Dasar dari pendapat Durkheim
adalah agama merupakan perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu
ada perwujudaan-perwujudan lainnya. Tuhan dianggap sebagai simbol dari
masyarakat itu sendiri yang sebagai collective consciouness kemudian menjelma
ke dalam collective representation. Tuhan itu hanya lah idealisme dari
masyarakat itu sendiri yang menganggapnya sebagai makhluk yang paling sempurna
(Tuhan adalah personifikasi masyarakat). Kesimpulannya, agama merupakan lambang
collective representation dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk
memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Orang yang terlibat
dalam upacara keagamaan maka kesadaran mereka tentang collective consciouness
semakin bertambah kuat. Sesudah upacara keagamaan suasana keagamaaan dibawa
dalam kehidupan sehari-hari, kemudian lambat laun collective consciousness
tersebut semakin lemah kembali.
e.
Kritik
Terhadap Emile Durkheim
Durkheim mendapat kritik terhadap jalan pikirannya yang tidak
kenal kompromi tentang besarnya peran jiwa kelompok yang membentuk
individu-individu anggota masyarakat yang oleh pengeritiknya dianggap berat
sebelah. Namun, Durkeim membantah kritikan tersebut sebab teori-teorinya bukan
tak berdasar, melainkan diperoleh dari penelitian-penelitian langsungnya dan
dengan metode-metode scientific.
sumber:
George Ritzer & Douglas J. Goodman.2010.Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern.Kreasi Wacana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar